Jumat, 20 September 2013

KOPI TAHLIL PEKALONGAN

Sabtu pagi, saya duduk di teras rumah. Membaca Koran pagi ditemani secangkir kopi hangat, yang bubuk kopi nya kiriman Ibu mertua dari Medan. Konon seduhan kopi yang saya hirup itu adalah bubuk kopi Arabica varietas Gayo, yang dipetik dari dataran tinggi Gayo di Aceh, dan dianggap satu varieatas kopi organik terbaik di dunia, Ah indahnya hidup ini, menikmati secangkir kopi ditemani jajan pasar yang baru saya beli di pasar lama Tangerang.
Nikmat seduhan kopi di awal akhir pekan di beranda rumah, jadi terpikir untuk memamerkan nikmat seduhan kopi saya ini, lalu saya kirim sms kepada sahabat saya Duladi yang orang Pekalongan, “ Aku nembe nyruput kopi terenak sedunia”, begitu bunyi sms yang saya kirim. Tak lebih 5 menit, dia sudah menjawab lewat sms.
“Kopi mu nomor 2 terenak, sing paling enak Kopi Tahlil Pekalongan, makane mulih Kalongan mengko tak traktir ngopi , lengkap jaburan Kalongan”. Hahaha Duladi sahabat saya ini memang tidak pernah mau kalah.
Kopi Tahlil…?, di Pekalongan…?
Wow...bisa jadi karena lama tidak pulang kampung , saya terlewat informasi  yang satu ini, tapi setahu saya sunguh orang Pekalongan tidak mengenal budaya warung Kopi. Orang Pekalongan tidak punya budaya bisa duduk berjam-jam, ngobrol untuk menikmati hangatnya seduhan hangat di kedai Kopi. Kalaupun ada seingat saya, orang Pekalongan bisa duduk berjam-jam di tempat kelompok orang yang bermain catur, bukan di warung kopi. Selanjutnya saya sibuk saling berbalas SMS dengan Duladi membahas Kopi Tahlil ini.
Jadi ternyata ada yang baru dengan Pekalongan, diluar perkara, batik, megono, dan tauto yang sudah tersohor itu, hal baru itu adalah Ngopi.
Memang untuk sebagian budaya orang Indonesia . Ngopi bukan sekedar meminum seduhan kopi, tapi sudah jadi cara melepas penat, bersilaturahmi , karena di kedai kopi kita bisa berbagi cerita dengan rekan-rekan dalam suasana kesetaraan.   Saya menemukan suasana kedai Kopi saat tinggal di aceh sebelum tsunami datang. Ratusan kedai-kedai kopi bertebaran di saentero kota Banda Aceh, dan ramai dikunjungi orang dari pagi, siang dan puncak keramaian adalah pada malam-malam hari. Mereka bisa duduk dari jam 8 lepas Isya sampai jam 11 malam, hanya untuk menghabiskan satu atau dua gelas kopi dan makanan ringan, sambil mengobrol dengan santai di kedai kopi.
Ya tidak hanya Aceh yang kenal budaya ngopi, di Kota-kota lain di Sumatera juga mempunyai kedai-kedai Kopi. Pada masyarakat melayu pada rumpun saudara Chinese mereka mengenal istilah Kopitiam yang artinya ya kedai Kopi. Di Jakarta warung kopi sudah menjadi bagian dari gaya hidup, lewat kedai-kedai kopi dengan berbagai nama. Konon lewat kedai-kedai kopi yang menempel di gedung-gedung di Jakarta inilah transaksi bisnis bernilai milyard bisa disepakati . Jadi jangan kaget bila secangkir kopi hangat di kedai kopi yang sudah punya nama di di Jakarta bisa dihargai lebih dari 50.000 rupiah.
Pada awalnya Kopi tahlil memang hanya disajikan sebagai “hidangan minum wajib” saat tahlilan (mengaji mendoakan orang yang meninggal), tapi kata Dul, sekarang Kopi Tahlil bisa dinikmati setiap saat, tak perlu menunggu Tahlilan. Sudah banyak warung Kopi Tahlil di Pekalongan, rasanya beda dengan kopi pada umumnya. Karena Kopi Tahlil tidak hanya paduan antara bubuk kopi dan gula, tapi dilengkapi dengan rempah, Konon seduhan Kopi Tahlil adalah paduan jahe,kapulaga,pandan,serai dan biji pala yang di “geprek” bersama lalu direbus selama 2 jam, baru setelah itu ditambahkan gula merah dan dicampurkan pada seduhan Kopi.
Ya saya menemukan resep yang mirip seperti yang diceritakan Dul. Bisa jadi Kopi Tahlil mirip dengan Kopi Bumbu yang pernah saya cicipi di warung Nino milik Luqman Bil Faqih, seorang warga Askarlo yang membuka warung kuliner Pekalongan di Tebet –Jakarta. Kata Pak Luqman Kopi Bumbu dalam istilah arab dikenal dengan nama Zanzabil,. Zanzabil atau kopi bumbu ini adalah minuman campuran dari kopi jahe + kapulaga (India) + kayu Manis + Sereh + Gula jawa.
Kang Djo sahabat saya yang asli Pekalongan , berpendapat tentang rasa Kopi Tahlil “Kopi Tahlil kuwi enak rasane, nhek disruput pas howo adem, opo maneh karo grimis rasane mak nyusss”. Mengenai harga ketika saya serius menanyakannya, sambil bergurau Kang Djo menjawab.
” Harga kopi tahlil tergantung situasi, nhek bakule lanang tur tuwo biasane murah, sekitar 2,000 sak cangkir, tapi nhek bakule wadok nom ora pati ayu, regane 3,500 sak cangkir, nhek bakule wadok nom tur ayu, regane sampek 5,000 sak cangkir.
Ah artinya dibanding Starbuck di Jakarta, kopi Tahlil, Starbuck ala Pekalongan ini masih jauh lebih murah. Di Starbuck ala Pekalongan dengan mengantongi uang Limapuluh ribu sampai seratus ribu, kita bisa mentraktir 10 orang ngopi bersama plus jaburan nya. Sedang Starbuck ala Jakarta paling tidak saya harus ngembol uang Limaratus sampai satu juta bahkan bisa lebih untuk mentraktir 10 orang.
Sudah jadi niat saya kalau balik ke Pekalongan ingin nyruput Kopi Tahlil bareng Duladi, saya ingin menikmati sensasi hangatnya sruputan paduan kopi plus rempah ala Pekalongan ini. Nanti kalau Duladi dolan Jakarta, saya ingin mentraktirnya Ngopi di Kedai Kopi di Jakarta, sungguh saya ingin memamerkan kejutan harganya usai nyruput kopi bersamanya, Hahahaha……
Salam Ngopi…., Selamat berakhir pekan Dulur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar