Sabtu pagi, saya duduk di teras rumah. Membaca Koran pagi ditemani
secangkir kopi hangat, yang bubuk kopi nya kiriman Ibu mertua dari
Medan. Konon seduhan kopi yang saya hirup itu adalah bubuk kopi Arabica
varietas Gayo, yang dipetik dari dataran tinggi Gayo di Aceh, dan
dianggap satu varieatas kopi organik terbaik di dunia, Ah indahnya hidup
ini, menikmati secangkir kopi ditemani jajan pasar yang baru saya beli
di pasar lama Tangerang.
Nikmat seduhan kopi di awal akhir pekan di beranda rumah, jadi
terpikir untuk memamerkan nikmat seduhan kopi saya ini, lalu saya kirim
sms kepada sahabat saya Duladi yang orang Pekalongan, “ Aku nembe
nyruput kopi terenak sedunia”, begitu bunyi sms yang saya kirim. Tak
lebih 5 menit, dia sudah menjawab lewat sms.
“Kopi mu nomor 2 terenak, sing paling enak Kopi Tahlil Pekalongan,
makane mulih Kalongan mengko tak traktir ngopi , lengkap jaburan
Kalongan”. Hahaha Duladi sahabat saya ini memang tidak pernah mau kalah.
Kopi Tahlil…?, di Pekalongan…?
Wow...bisa jadi karena lama tidak pulang kampung , saya terlewat
informasi yang satu ini, tapi setahu saya sunguh orang Pekalongan tidak
mengenal budaya warung Kopi. Orang Pekalongan tidak punya budaya bisa
duduk berjam-jam, ngobrol untuk menikmati hangatnya seduhan hangat di
kedai Kopi. Kalaupun ada seingat saya, orang Pekalongan bisa duduk
berjam-jam di tempat kelompok orang yang bermain catur, bukan di warung
kopi. Selanjutnya saya sibuk saling berbalas SMS dengan Duladi membahas
Kopi Tahlil ini.
Jadi ternyata ada yang baru dengan Pekalongan, diluar perkara, batik,
megono, dan tauto yang sudah tersohor itu, hal baru itu adalah Ngopi.
Memang untuk sebagian budaya orang Indonesia . Ngopi bukan sekedar
meminum seduhan kopi, tapi sudah jadi cara melepas penat, bersilaturahmi
, karena di kedai kopi kita bisa berbagi cerita dengan rekan-rekan
dalam suasana kesetaraan. Saya menemukan suasana kedai Kopi saat
tinggal di aceh sebelum tsunami datang. Ratusan kedai-kedai kopi
bertebaran di saentero kota Banda Aceh, dan ramai dikunjungi orang dari
pagi, siang dan puncak keramaian adalah pada malam-malam hari. Mereka
bisa duduk dari jam 8 lepas Isya sampai jam 11 malam, hanya untuk
menghabiskan satu atau dua gelas kopi dan makanan ringan, sambil
mengobrol dengan santai di kedai kopi.
Ya tidak hanya Aceh yang kenal budaya ngopi, di Kota-kota lain di
Sumatera juga mempunyai kedai-kedai Kopi. Pada masyarakat melayu pada
rumpun saudara Chinese mereka mengenal istilah Kopitiam yang artinya ya
kedai Kopi. Di Jakarta warung kopi sudah menjadi bagian dari gaya hidup,
lewat kedai-kedai kopi dengan berbagai nama. Konon lewat kedai-kedai
kopi yang menempel di gedung-gedung di Jakarta inilah transaksi bisnis
bernilai milyard bisa disepakati . Jadi jangan kaget bila secangkir kopi
hangat di kedai kopi yang sudah punya nama di di Jakarta bisa dihargai
lebih dari 50.000 rupiah.
Pada awalnya Kopi tahlil memang hanya disajikan sebagai “hidangan
minum wajib” saat tahlilan (mengaji mendoakan orang yang meninggal),
tapi kata Dul, sekarang Kopi Tahlil bisa dinikmati setiap saat, tak
perlu menunggu Tahlilan. Sudah banyak warung Kopi Tahlil di Pekalongan,
rasanya beda dengan kopi pada umumnya. Karena Kopi Tahlil tidak hanya
paduan antara bubuk kopi dan gula, tapi dilengkapi dengan rempah, Konon
seduhan Kopi Tahlil adalah paduan jahe,kapulaga,pandan,serai dan biji
pala yang di “geprek” bersama lalu direbus selama 2 jam, baru setelah
itu ditambahkan gula merah dan dicampurkan pada seduhan Kopi.
Ya saya menemukan resep yang mirip seperti yang diceritakan Dul. Bisa
jadi Kopi Tahlil mirip dengan Kopi Bumbu yang pernah saya cicipi di
warung Nino milik Luqman Bil Faqih, seorang warga Askarlo yang membuka
warung kuliner Pekalongan di Tebet –Jakarta. Kata Pak Luqman Kopi Bumbu
dalam istilah arab dikenal dengan nama Zanzabil,. Zanzabil atau kopi
bumbu ini adalah minuman campuran dari kopi jahe + kapulaga (India) +
kayu Manis + Sereh + Gula jawa.
Kang Djo sahabat saya yang asli Pekalongan , berpendapat tentang rasa
Kopi Tahlil “Kopi Tahlil kuwi enak rasane, nhek disruput pas howo adem,
opo maneh karo grimis rasane mak nyusss”. Mengenai harga ketika saya
serius menanyakannya, sambil bergurau Kang Djo menjawab.
” Harga kopi tahlil tergantung situasi, nhek bakule lanang tur tuwo
biasane murah, sekitar 2,000 sak cangkir, tapi nhek bakule wadok nom ora
pati ayu, regane 3,500 sak cangkir, nhek bakule wadok nom tur ayu,
regane sampek 5,000 sak cangkir.
Ah artinya dibanding Starbuck di Jakarta, kopi Tahlil, Starbuck ala
Pekalongan ini masih jauh lebih murah. Di Starbuck ala Pekalongan dengan
mengantongi uang Limapuluh ribu sampai seratus ribu, kita bisa
mentraktir 10 orang ngopi bersama plus jaburan nya. Sedang Starbuck ala
Jakarta paling tidak saya harus ngembol uang Limaratus sampai satu juta
bahkan bisa lebih untuk mentraktir 10 orang.
Sudah jadi niat saya kalau balik ke Pekalongan ingin nyruput Kopi
Tahlil bareng Duladi, saya ingin menikmati sensasi hangatnya sruputan
paduan kopi plus rempah ala Pekalongan ini. Nanti kalau Duladi dolan
Jakarta, saya ingin mentraktirnya Ngopi di Kedai Kopi di Jakarta,
sungguh saya ingin memamerkan kejutan harganya usai nyruput kopi
bersamanya, Hahahaha……
Salam Ngopi…., Selamat berakhir pekan Dulur

Tidak ada komentar:
Posting Komentar